Senin, Juni 01, 2009

Gila Pengertian Pertama

Hari itu (19 Desember 2008), setelah melewati hamper ratusan kali rute Uber-Pasteur saya melihat setidaknya 3 orang gila -maaf kasar, kelak pasti ada sebutan lain- satu diantaranya perempuan. Beragam penampilannya mulai dari pakaian lengkap namun tak karuan, setengah telanjang -ini terjadi pada yang perempuan- sampai yang paling miris adalah telanjang seluruhnya. Bukan pemandangan indah untuk mengawali aktivitas pagi hari apalagi saat meluruskan niat untuk berjihad mencari rejeki.

Kata GILA memang menjadi hal yang lucu bila disandingkan pada obrolan ‘orang waras’ contohnya gila=keren, gila=kreatif. Tapi ketika Gila melekat pada ‘orang kurang waras’, maka kata itu menjadi profesi, sialnya profesi yang tak dicari para sarjana. Berikutnya adalah kasus yang saya bingung menempatkan kata Gila untuk tujuan apa karena membutuhkan pembahasan tersendiri.

Sore hari di Cicaheum arah menuju pulang, ruang jalan sebelah kanan sedikit macet, kupikir gara-gara jam keluar kantor. Semakin mendekati pusat macet saya tersentak karena melihat ibu-ibu memeluk anaknya tiduran dijalan raya!. Kupikir dia orang berprofesi Gila tapi ternyata bukan. Ibu itu berpakaian lengkap, bersih bahkan sopan.

Oh saya keliru dia bukan tiduran karena dia meronta ketika semua orang berusaha memindahkan, dia berniat BUNUH DIRI!.

Sudah sedemikiankah kehidupan membuat orang menjadi stress dan memilih gila? Tidakkah ibu itu berpikir bahwa kelak anaknya akan mengangkat derajat sang ibu? Atau berpikir bahwa ini adalah tangga lain yang harus dilewati dalam hidup hanya saja undakkannya lebih tinggi. Pertanyaan itu tertelan sendiri karena motor saya susah untuk berhenti terseret arus lalulintas.

Yang pasti ketika melihat kejadian secara langsung -bukan lewat TV- percobaan bunuh diri bukan saja menimbulkan kengerian tapi juga kesadaran dan pengetahuan lain tentang kehidupan.

Setiap mengingat kejadian itu saya sudah tak mungkin lagi tersenyum, karena tak ada satupun jaminan itu tidak akan menimpa orang terdekat atau orang yang bernama pipit nurul ini. Romantisme cinta sampai mati pun seketika tidak lagi dramatis seperti dalam opera. Kehidupan itu mahal, ruh setipis udara, bahkan kita tak pernah tahu kedipan mata yang keberapa yang akan membedakan hidup dan mati. Dari sini phobia saya terhadap kematian jsedikit mereda, bahkan saya siap seandainya ada yang membutuhkan bantuan mengurus jenazah. Terimakasih banyak pada kejadian hari itu, maka buat saya kata Gila berganti makna menjadi kecintaan pada Ilahi.

Namun ada satu hal yang membuat saya akhir2 ini hampir mendekati Gila sebagai profesi senyum-senyum sendiri dan merasa ‘napak bumi’. Adalah ketika melihat tulisan di belakang motor orang lain dan sepertinya akan menjadi ‘my tickleing word ever’ kuharap anda mengerti bahasa sunda bunyinya begini:

“Mun Rek Laun Mah Isuk Deui We Inditna Ulah Burunggusuh!!!” Huahahaha….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar